Selasa, 09 Februari 2021

Merlion di Madiun

 Seorang teman mengirimkan pesan ke saya, menanyakan pendapat saya soal kebijakan teranyar Walikota Madiun yang membangun Merlion diikuti dengan bangunan khas negara2 lain di Madiun. 

Kebetulan Madiun adalah kampung halaman keluarga kami. Kakek dan nenek saya dari pihak ibu memiliki rumah disana, yang saat ini menjadi tempat berkumpul keluarga besar kami. Namun saya sebenarnya kurang familiar dengan tempat wisata yang ada disana. Sebagian besar waktu yang kami habiskan saat berada di Madiun adalah bercengkerama dengan keluarga, sowan ke keluarga di kota sekitar, nyekar dan tentu saja makan pecel. 

Mendengar adanya tempat wisata baru disana tentu saja saya sedikit bahagia. Terakhir jalan2 disana, beberapa tahun yg lalu, kami ke tempat wisata di pinggir kota Madiun bernama Grape (baca gra-pe, bukan grep ya...). Sejenis wisata alam begitulah.. Jadi mendengar adanya tempat wisata baru, apalagi terletak di tengah kota, tentu saja saya cukup antusias. Siapa tau perjalanan berikutnya ke Madiun, kami bisa mengunjunginya.  

Namun, tempat wisata bernuansa 'mancanegara' ini banyak menimbulkan kontra. Beberapa pihak menilai kurang cocok ditempatkan di tengah kota Madiun, seolah-olah merupakan maskot atau ciri khas kota ini. Kebetulan bangunan utama pertama adalah sejenis Merlion yang merupakan ciri khas Kota (negara) Singapura. 

Untuk pengembangan tahapan berikutnya, informasi yang saya baca, tempat ini akan ditambahkan beberapa bangunan seperti menara Eiffel, Kabah, Kincir Angin dan beberapa bangunan khas mancanegara lainnya. 

Polemik serupa juga sempat timbul di Sumatera Barat sewaktu pemerintah daerah membangun tempat wisata dengan 'nuansa' kebarat-baratan yang seolah menenggelamkan ciri khas daerahnya. 

Pendapat bodoh saya, ya.. saya cukup mengapresiasi pembangunan ini. Yes, mengapresiasi, meskipun saya tidak setuju 100%. Menurut saya, kita kudu melihat demografi masyarakat di kota itu juga. Apakah masyarakat di kota itu adalah tipe masyarakat yang sering bepergian keluar kota? Atau tipe masyarakat desa yang mayoritas kegiatannya berada di tempat yang itu2 saja. 

Sepenglihatan mata saya yang minusnya hampir mendekati 5 ini, masyarakat di kota Madiun adalah tipe masyarakat menetap. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat didapat dari sektor perdagangan dan industri pengolahan. Beberapa industri perdagangan memang mengharuskan kita mobile. Untuk industri pengolahan, mayoritas dilakukan di tempat yang itu2 saja. Jika kita mau melihat tipikal masyarakatnya, mungkin kita akan memaklumi mengapa walikota Madiun mengambil bentukan bangunan khas mancanegara sebagai pelengkap area wisatanya. Agar masyarakat dapat mengunjungi dan melihat langsung (meskipun dalam bentuk miniatur) bangunan tersebut di halaman mereka sendiri. 

Secara desain ruang luar, saya pikir mengakomodasi keinginan masyarakat bukan hal yang salah. Apalagi ini dilakukan di tengah pandemi, dimana masyarakat tidak bisa dengan bebas pergi keluar kota selama beberapa waktu. Namun menurut saya, kegiatan ini akan lebih baik lagi jika tidak lupa menekankan unsur tradisional yang khas dari area ini. Atau memberikan ilustrasi (berupa patung / diorama / sejenisnya) tentang asal muasal kota Madiun yang pasti akan menarik untuk dikunjungi. Ilustrasi ini bisa menambahkan unsur rekreasi pendidikan untuk masyarakat kota atau pengunjung. Memiliki bangunan mancanegara tanpa lupa akar riwayat kotanya sendiri.  

Saya mencoba selalu berpikir dari sudut pandang yang berbeda. Bertahun2 lamanya saya tinggal di Jakarta. Kunjungan saya ke Monumen Nasional (Monas) sebenarnya bisa dihitung dengan jari. Tapi begitu ada tempat wisata baru di sekitaran  Jakarta... langsung deh capcuss....

Saya pikir hal ini jugalah yang diharapkan oleh Pak Walikota Madiun. Saya hanya berharap, tim konsultan pengembangan wilayah kota Madiun memberikan input yang sebaik2nya untuk pengembangan kota Madiun dalam jangka panjang. 


_nils


Tidak ada komentar:

Posting Komentar